Kutipan

Chandelier

Namaku Jane. Aku tinggal di selatan kota Boston. Pekerjaanku, tidak ada. Aku hanyalah gadis klub yang menghabiskan setiap malamku hanya untuk berpesta bersama teman-temanku. Sebenarnya, mereka tidak pantas disebut teman. Karena mereka hanya datang kepadaku ketika mereka butuh uang. Ya. UANG. Tanpa uang, mereka tidak akan bisa berpesta. Keadaan itu muncul ketika tidak ada lagi lelaki hidung belang yang menyewa jasa mereka hari itu. Namun ketika ada lelaki datang, mereka berebut duduk. Layaknya anak sekolah yang menunggu bis kota.

Aku memang tidak jauh berbeda dari mereka. Mencari lelaki hidung belang, menunggu panggilan telepon, menanti bel rumahku berbunyi, hanya untuk panggilan pesta. Ketika teleponku meraung aku bergumam, ini dia. Pesta gratis!! Saat kau menghubungiku diwaktu yang tepat, aku akan sangat senang menyambutmu di apartment ku. Ya. Mari kita berpesta. Saat kau datang dan memencet bel rumahku, wow rasanya perasaan cinta datang bertubi-tubi ke relung hatiku. Meski hanya sebentar saja. Itulah getaran yang kurasakan. Walaupun aku tak pernah merasakan apapun.

“Ayo minum lagi!”

“Tambah lagi, Jane!”

“Jika kau bisa menghabiskan satu pitcher ini, akan kuberikan kau satu pitcher bir lagi

Untuk kau minum di apartmentmu, Jane!”

“Jane!! Kau hebat! Mari bersulang untuk Jane!!” Seruan teman-temanku semakin malam semakin menggila.

“1..2..3.. Cheers untuk kita!!” “Lagi!! 1..2..3.. Minum!!” “Cheers!! Mari minum! Ini gratis!” Seru teman-temanku yang lain. Entah sudah berapa gelas yang aku teguk. Mungkin hitungan gelas sudah tidak berlaku. Tapi aku rasa, sudah 3 pitcher bir yang aku minum. Haha. Ini gila. Aku memang terkenal kuat dalam minum-minum. Ku pandangi lelaki yang tadi sore menjemputku, yang saat ini duduk disebelahku. George namanya. Dia menyewaku selama dua malam. Selanjutnya, pesta pora selama dua malam. Hebat !

Tak lama aku termenung, bengong. Untuk apa aku melakukan hal ini? Apakah aku merasa bahagia dengan hal ini? Pesta setiap malam, menemani lelaki hidung belang? Aku berpikir, berapa banyak lelaki yang tidur dengan selama lima tahun ini? Demi pesta? Tak ada cinta. Cinta hanya datang semu. Saat tamu meneleponku, dan memencet bel rumahku. Cinta itu datang. Setelah semalam, tiba-tiba rasa itu hilang. Inikah perasaan cinta itu?

Kemudian, aku merasa mual. Mual yang sangat hebat. Aku hampir muntah. George memegangiku. Tidak lama, Jessie dan Sandra menopangku.

“Kau tidak apa-apa, Jane?” Seru Jessie berteriak. Sial sekali, musik didalam klub ini sangat bising.

“Aku pikir aku akan muntah!” Jawabku tak kalah keras.

“Mungkin kau kebanyakan minum bir.” Tukas George.

“Lain kali kau harus mencoba vodka, Jane!” Sindir Sandra. Eugh, aku benci vodka. Bir adalah minuman terbaikku setelah Tequilla!

“Aku harus ke kamar mandi!” Seruku kepada mereka.

“Kau yakin akan kesana sendiri?” Tanya Jessie dan George meyakinkanku. Aku mengangguk.

“Kalian tenang saja! Aku akan baik-baik saja!” Balasku sembari menuangkan champagne ke dalam gelas kaca itu. Aku berjalan terhuyung-huyung diantara kerumunan orang-orang yang sedang berdansa sambil menenteng segelas champagne.

“Gila betul si Jane. Sudah hampir muntah dan dia masih bisa menenteng segelas champagne!!” Umpat Sandra.

“Aku dengar itu! Jalang!!” Balasku kepada Sandra dan mengacungkan jari tengah kearahnya. Aku tertawa saat Sandra masih kesal dengan umpatanku.

Di dalam toilet, ku pandangi raut wajahku didepan kaca. Oh Tuhan, aku tidak lagi muda. Ku teguk champagne-ku. Mencoba sadar. Betulkah wajahku semakin lama semakin keriput. Rambutku yang pirang tidak lagi bersinar. Jiwaku semakin hari semakin lama semakin kusut. Tidak ada gairah hidup. Disaat aku merenungi hidupku, tiba-tiba..

“HUEEEEEEKKKKKKKK!!!” Muntahanku keluar memenuhi isi toilet. Aku rasa itu tidak hanya muntahan sisa bir barusan, tapi mungkin juga semua dosa yang telah aku perbuat selama ini. Aku pikir, ini tidak akan cukup untuk menyatakan semua dosaku sebagai si Gadis Pesta. Meski semua muntahan telah keluar, tapi aku masih merasa mual. Dengan ragu kukeluarkan testpack ku. Tes kehamilan. Sudah lama aku tidak melakukan hal ini. Kutunggu hasil tes itu sambil menghisap rokokku dan ku teguk champagne ku. Satu menit, lima menit, dan akhirnya sepuluh menit. Yes, hasil tes pun siap. Kulihat strip itu.

Tidak mungkin!! Dua garis??? Anak siapa ini?!! Aku mengumpat dalam hati. Tidak mungkin aku hamil. Tapi anak siapa??? Mungkin sudah lima tahun ini ada puluhan bahkan ratusan lelaki yang mengajakku. Aku tidak mungkin menilik satu persatu lelaki itu demi bayi ini.

Puncak frustasiku makin mendekat. Ku sundut jariku satu persatu dengan rokok itu, agar aku sadar bahwa ini hanya mimpi. Namun ku berharap, ini tetap mimpi. Tapi, ternyata rasa terbakar pada jari-jariku ini nyata. Nyata rasanya. Mataku memerah. Ku teguk habis champagne sisa tadi. Kemudian ku lempar gelasnya ke cermin sehingga dua buah kaca itu sama pecahnya. Aku harus bagaimana Tuhan? Tak lama, ku ambil serpihan kaca itu, dan ku gariskan ke pergelangan tanganku. Ahhh, ini sangat perih. Aku rasa, lebih baik mati daripada menanggung malu seperti ini. Kemudian, aku pun jatuh lunglai tak sadarkan diri.

Keesokan paginya, ku buka mataku. Masih dalam kondisi setengah sadar, dimanakah aku ini? Ada kemeja lelaki disebelahku. Sungguh, tempat tidur ini sangat nyaman. Ku hirup wangi kemeja itu. Hmm.. Bvlgari. Tak salah lagi, ini kemeja George. Tak lama, dari sebelah kiri terbukalah pintu itu. Ternyata George. Aku memang betul-betul di apartment milik George.

“Kau sudah sadar, Jane? Semalam kau muntah hebat sekali dan kau berenang dengan buta didalam kubangan bir dan darah itu. Untung aku dan Jessie cepat-cepat membawamu ke UGD terdekat! Jika tidak, mungkin kau sudah mati saat ini.” Tutur George

Aku masih terbengong dengan penjelasan George. George membuang mukanya ke jendela luar sembari mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

“Ini punyamu. Untung kau benar-benar tidak mati. Jika kau mati sungguhan, hina sekali hidupmu. Seumur hidup tidak pernah bahagia. Hidupmu hanya untuk minum, pesta, dan menggoda lelaki. Mati didalam kubangan bir dan darah dalam keadaan hamil tanpa suami. Tragis sekali.” Ujar George sambil melemparkan sesuatu itu.

Sial, ini kan testpack ku. Bukankah ku sudah lenyapkan? Bagaimana ia menemukan itu?

“Nadamu sungguh menghina, George.” Tukasku kasar. George hanya tertawa jahat.

“Bayaranmu semalam aku taruh dibawah bantal. Sudah aku potong dengan biaya UGD mu semalam. Aku akan berangkat kerja. Tunggulah aku di bar pukul delapan malam nanti. Sudah kusiapkan gaun indah untukmu didalam lemari.” Ujar George sembari meninggalkanku. Aku masih terbingung-bingung. Bukan, bukan soal omongan George. Tapi bagaimana aku akan tetap hidup dan berpesta dengan bayi didalam kandunganku? Aku tidak akan mungkin jadi si gadis pesta lagi. Aborsi? Ide yang cukup bagus. Namun aku tidak akan mungkin dapat menahan sakitnya. Lebih baik aku mati saat ini juga. Ucapan George betul-betul kurang ajar dan menyakitkan. Apa yang harus aku lakukan??

Kuturunkan badanku dari ranjang yang nyaman nan hina itu. Menuju wastafel. Mencuci muka dan kembali kutatap cermin. Aku perhatikan wajahku, aku benar-benar sudah tua. Meski umurku masih duapuluh lima tahun, tapi aku merasa sepuluh tahun lebih tua dari umurku. Wajahku, penuh keriput di dahi, pipi, leher. Aku merasa, tubuhku makin kurus tanpa asupan nutrisi. Hanya bir dan tequila yang masuk saat ini. Aku harus berubah, meski hanya untuk hari ini.

Kuraih kardigan dan flat shoes ku, tak lupa handphone, rokok, dan uang pemberian dari George. Dengan cepat aku keluar dari apartment George dan menyalakan mesin mobilku.

Saat menyetir, yang ada dalam pikiranku hanya, aku harus kemana dan apa. Seketika aku galau, sampai-sampai mobil dibelakangku mengklaksonku beberapa kali dengan sangat keras. Tak lama, dia menyalipku.

“Cepatlah sedikit, Jalang! Ini bukan jalan milik kakekmu!” Umpat kakek itu. Haha. Ternyata dia hanyalah kakek tua yang sedang mabuk sambil menghisap cerutu.

Tak lama berselang, aku menemukan restoran cepat saji dipinggir jalan. Aha, mungkin perutku memang butuh sedikit asupan lemak. Paling tidak, sebelum aku mengakhiri hidupku.

Aku mulai memasuki restoran itu. Dan langsung menuju meja kasir.

“Permisi, bisakah aku mendapatkan dua porsi ayam goreng berbumbu, satu porsi kentang goreng ukuran jumbo, dua buah burger dengan ekstra keju dan mayonnaise, satu porsi sayam ayam goreng dengan bumbu buffalo, dan satu minuman ringan ukuran ekstra besar?” Pintaku pada petugas restoran.

“Wow, tentu saja. Semua itu untukmu? Atau kau sedang menunggu sesuatu? Atau mungkin kau sedang stress??” Tebak petugas restoran.

“Mungkin tiga-tiganya.” Jawabku sambil tersenyum kecil.

“Haha, mungkin saja.” “Semuanya jadi tigapuluh dolar.” Ujarnya.

“Ambil saja kembaliannya.” Tuturku.

“Betulkah, Nona? Terima kasih banyak. Aku akan mengantarkan semua pesananmu ke meja.” Balas petugas tersebut. Kemudian ku tinggalkan meja kasir dan menuju ke mejaku.

Aku menghabiskan seluruh makanan itu. Benar-benar menghabiskannya. Aku rasa, terakhir kali aku memakan ini limabelas tahun yang lalu. Betul-betul nikmat.

Kemudian, aku meninggalkan restoran cepat saji itu. Tujuan berikutku: coffee shop. Aku pikir itu menarik. Ku setir mobilku menuju coffee shop terdekat.

Saat itu suasana coffee shop sangatlah lengang. Ku seruput saja caramel latte kesukaanku. Aku memesan dua buah gelas besar. Satu panas dan satu dingin. Sejuknya hawa hari itu melenakanku dan sesaat mencoba membantu melupakan masalahku. Ku pandangi perutku. Kuusap permukaan kulitnya. Jabang bayi itu. Ah, terasa menendang-nendang perutku. Meski aku tidak yakin akan usia kehamilan ini, tapi aku betul-betul merasakan semua gerakannya didalam perutku. Aku tersenyum.

“Aku minta maaf. Maafkan aku untuk kesalahanku yang lalu, hari ini, besok dan seterusnya. Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu, Bayi Kecil. Aku hanyalah wanita yang paling hina, paling kotor, dan paling tidak bertanggung jawab. Aku merasa, kau dan aku tidak pantas hidup didunia yang indah ini. Kita terlalu kotor, dan kita adalah kotoran yang harus dibersihkan, Bayi Kecil.” Ujarku lembut sambil mengusap perut itu. Tak sadar, mengalirlah bulir hangat itu melewati hidungku, pipiku. Ah, andai ibu masih menganggapku anak, mungkin aku tak akan sesulit ini melewati hidup.

Malam telah tiba, pukul tujuh lewat limabelas. Aku masih bersolek didepan kaca. Hari ini aku akan tampil, sebagai penari tiang. Tidak, bukan. Namun menjadi penari lampu gantung. Dengan gaun berwarna merah. Aku ingin malam ini menjadi berkesan. Paling tidak sebelum aku mengakhiri hidupku.

Ditengah-tengah bar, kulihat George sedang mencumbu perempuan lain. Ah, Sandra rupanya. Aku tidak begitu kaget, bukannya begitu kan kelakuan seorang lelaki hidung belang. Sebelum naik keatas panggung, aku bersalaman dengan Jessie. Aku berpesan kepadanya, cepatlah kembali kejalan Tuhan, sebelum terlambat sepertiku. Dia menggubrisnya. Jessie memanglah teman yang baik.

Ketika ku menaiki pentas, kuraih segera mikrofon itu. Lalu mengucapkan sepatah duapatah kata. Yang mungkin bagi mereka, tiada artinya. Namun ini sangat berarti untukku.

“Selamat malam, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Malam ini, saya akan mementaskan sebuah atraksi yang mungkin alami, tanpa rekayasa. Tak ada drama, dan kebohongan. Saya merasa bahwa kitapun hidup bersandiwara. Meski terlihat tidak ada sandiwara. Dan saya ingin mengakhiri sandiwara tersebut malam ini.” Ujarku dengan lantang. Tak lama suara berbisik-bisik dan bertanya-tanya bergemuruh memenuhi bar.

“Ini akan menjadi atraksi yang berkesan dan tak akan pernah Anda lupakan selamanya, Tuan dan Nyonya. Atraksi ini akan lebih hebat dari yang Anda pernah lihat di pertunjukkan Sirkus. Saya harap Anda akan terkesan.” Lanjutku, tak tahu mengapa, kembali aimata ini menetes pelan-pelan, hangat membasahi pipi. Kuletakkan mikrofon, lalu tak lama kuberikan aba-aba agar musik segera dimainkan.

Terdengar alunan klasik Mozart menggema keseluruh penjuru bar. Aku mulai menari. Merayapi tiang, berputar diatasnya. Dengan tetap menangis, ya menangis. Seluruh pengunjung bar terdiam dan tercengang melihat tarianku. Tak lama, kurayapi dinding dengan bantuan tali penyelamat. Lalu ku bergantung pada lampu gantung diatas bar. Orang-orang tercengang, takut, dan khawatir pada diriku. Tapi aku tetap tak peduli. Ku bergantung dan mengayunkan lampu gantung itu. Berayun, ayun, dan berayun dari satu lampu ke lampu yang lainnya. Aku terus berayun diatas lampu gantung seperti orang yang gila, orang yang stress, penuh frustasi. Ya, aku memang gila, stress dan frustasi. Tak peduli sepedelinya orang padaku. Hingga akhirnya saat itu datang.

Aku sudah menyadari bahwa lampu gantung itu sudah tidak kuat untuk menahan bebanku, tiba-tiba atap penyangga lampu itu retak. Tak lama mungkin lampu ini akan jatuh. Namun aku terus berayun dan berayun. Orang-orang dibawah sudah meneriakiku.

“Hei!! Turunlah kau!”

“Sebentar lagi lampu itu akan jatuh!! Berpindahlah, Sayang!”

“Kau akan mati bila tidak cepat-cepat turun!!”

Namun tak ku gubris seruan-seruan itu, hingga akhirnya..

KREEEKKK…

Lampu itu sudah betul-betul tidak kuat, aku keluarkan pisau kecil dari dalam sakuku dan memutuskan tali pengaman itu. Aku sudah tidak punya akal, tidak punya otak. Pantaslah mati meski dengan jabang bayi didalamnya.

KREEEKKKK… JRRRRRKKKKGGGKK… PRAAAANNNNGGGGGG….

Lampu itu jatuh, bersamaan dengan tubuh Jane. Tubuh Jane, berlumuran darah. Oh, Jane yang malang. Dengan hidup yang hina, dan mati dengan hina. Berkubang darah. Tragis dan dramatis. Tak bisa tertolong lagi. Bayinya pun juga tidak terselamatkan. Jabang bayi yang ternyata sudah berusia lima bulan. Harus mati juga bersama ibunya. Ibunya yang penuh dosa dan berlumur malu. Karena hidup sebagai gadis pesta.

Inspired from Chandelier by Sia

Ini gue sisipin videonya juga deh biar dapet feelingnya :p

Tinggalkan komentar